Bestie.my.id - Perasaan lega itu akhirnya datang juga. Visa Schengen pertama yang saya urus mandiri, tanpa agen, tanpa calo, resmi lolos. Rasanya campur aduk, antara senang, capek, dan pengen ketawa sambil geleng-geleng kepala mengingat rangkaian kebolotan yang terjadi sepanjang proses ini.
Jujur saja, sebelum mulai, saya cukup pede. Sudah sering jalan-jalan, dokumen lengkap, tabungan aman, itinerary rapi. Dalam kepala, ngurus visa Schengen itu ribet tapi masih masuk akal. Ternyata ya… ribetnya datang bukan cuma dari syarat, tapi dari hal-hal kecil yang kelihatannya sepele.
Saya nulis cerita ini bukan buat cari simpati. Lebih ke pengakuan dosa perjalanan, biar teman-teman yang mau ngurus visa Schengen perdana bisa belajar dari kesalahan saya, dan gak perlu booking appointment sampai tiga kali kayak saya. Iya, tiga kali. Dan iya, ada uang yang melayang di tengah jalan.
Awal masalah dimulai dari satu keputusan simpel yang kelihatannya praktis. Booking appointment lewat HP. Kedengarannya modern dan efisien kan. Lagi santai, buka browser di HP, masuk website VFS, isi data, klik jadwal, lanjut ke pembayaran. Semua terlihat normal.
Payment saya lakukan via m-banking, dan statusnya sukses. Saldo kepotong, notifikasi bank masuk, aman. Saya tunggu appointment letter masuk email. Lima menit. Sepuluh menit. Setengah jam. Dua jam. Tidak ada apa-apa.
Browser di HP masih stuck di halaman instruksi pembayaran. Saya refresh, login ulang, hasilnya nihil. Di akun VFS, gak ada tanda-tanda booking berhasil. Saat itu masih santai, mikirnya mungkin sistem mereka lambat. Saya tunggu sampai besok.
Besoknya tetap nihil. Barulah mulai cemas. Saya email ke VFS helpline, jelasin kronologi lengkap, lengkap dengan bukti pembayaran. Jawaban mereka datang, tapi… ya begitulah. Auto reply yang sopan tapi gak menjawab inti masalah.
Email bolak-balik hampir seminggu, dan ujungnya nihil juga. Gak ada konfirmasi booking, gak ada refund. Capek sendiri bacanya. Akhirnya saya menyerah dengan elegan, alias ikhlas, dan anggap saja itu sedekah paksa sebesar 200 ribu.
Belajar dari situ, saya booking appointment untuk kedua kali, kali ini lewat PC. Browser laptop, koneksi stabil, dan pembayaran pakai e-wallet. Puji Tuhan, semua lancar. Appointment letter langsung masuk email dalam hitungan menit.
Dari sini saya benar-benar sadar, urusan visa itu jangan sok praktis. Cara aman seringkali adalah cara paling mainstream. HP memang memudahkan hidup, tapi untuk urusan krusial seperti appointment visa Schengen, PC lebih bisa dipercaya.
Dengan semangat baru dan jadwal appointment kedua di tangan, saya siap datang ke VFS. Appointment saya jam 09.00–09.15. Rumah saya ke Kuningan, kalau lihat Google Maps, cuma sepuluh menit. Dalam kepala anak Jaksel, sepuluh menit itu nothing.
Saya lupa satu hal kecil bernama macet pagi hari di Kuningan.
Hari itu saya berangkat santai. Tidak terlalu mepet, tapi juga tidak terlalu awal. Sampai di depan pintu VFS, jam menunjukkan pukul 09.02. Secara logika manusia normal, itu masih masuk rentang waktu appointment. Saya pun masih tenang.
Saya lapor satpam, bilang punya appointment jam sembilan. Beliau masukin nama saya ke dalam, sambil ngasih tahu petugas di desk. Dari wajahnya, saya mulai ngerasa ada yang tidak beres. Tapi tetap denial.
Begitu sampai di desk, appointment letter saya dicek. Petugas cuma lihat jam, lihat kertas, lalu… coret dengan tulisan “late”. Tanpa banyak drama.
Baca juga: Pengalaman Tiba di Khua Din Bus Terminal, Vientiane, Laos
Saat itu juga saya dikasih dua opsi. Tidak bisa diproses, atau mau tetap diproses dengan paket premium sekitar 900 ribu rupiah. Dan FYI, penjelasan ini disampaikan dengan suara cukup lantang, bukan bisik-bisik.
Saya merasa seperti murid telat yang ditegur guru di depan kelas. Semua mata di ruangan itu rasanya menoleh. Malu? Iya. Kesel? Banget. Tapi ya salah sendiri.
Sebagai kaum mendang-mending sejati, otak saya langsung bekerja. 900 ribu untuk menebus telat dua menit? Rasanya belum ikhlas. Akhirnya saya menolak paket premium dan merelakan appointment kedua saya gugur.
Artinya, 200 ribu… melayang lagi.
Dari kejadian ini, saya mau tekanin satu hal penting. Datang ke VFS itu bukan tepat waktu, tapi lebih awal. Aturan 15 menit sebelum jadwal itu bukan hiasan. Mereka hitung ketat. Tidak ada toleransi, tidak ada drama.
Kalau appointment jam 09.00, targetkan sudah sampai jam 08.45, bahkan lebih cepat. Duduk, tarik napas, daripada kehilangan uang dan harga diri.
Setelah dua kali gagal, saya booking appointment untuk ketiga kalinya. Kali ini saya sudah seperti veteran. Semua disiapkan jauh lebih matang, mental sudah kebal, dan alarm pagi diset lebih galak.
Beberapa hari sebelum jadwal ketiga, saya dapat email dari VFS helpline. Isinya bikin mata melek. Payment pertama saya yang nyangkut dulu ternyata bisa diproses refund, tapi harus langsung di counter VFS.
Oke, setidaknya ada kabar baik di tengah kekacauan.
Hari-H, saya datang satu jam sebelum VFS buka. Tidak mau ambil risiko lagi. Setelah dokumen dicek dan aplikasi visa diproses dengan lancar, saya ceritakan soal refund ke petugas di counter.
Masnya ramah, minta saya print bukti pembayaran, dan bilang akan dibantu proses. Proses refund tidak instan, tapi jelas arahnya. Dua minggu kemudian, saat saya datang untuk ambil paspor, saya diminta isi form data rekening.
Beberapa waktu setelah itu, danjreng, dana masuk. Tidak besar, tapi cukup buat jajan bakso plus es teh. Rasanya? Lega.
Pelajaran penting di sini, kalau payment nyangkut dan email gak membantu, datang langsung ke counter itu jauh lebih efektif. Manusia bicara dengan manusia, ternyata masih relevan di zaman digital.
Setelah semua drama itu, visa saya akhirnya keluar. Single entry, 11 hari, pas sesuai itinerary. Jujur agak berharap dapat multiple, tapi ya realistis saja. Untuk pemohon pertama, apalagi mandiri, Schengen memang cenderung pelit.
Untungnya saya tidak asal-asalan bikin itinerary. Jadwal perjalanan sesuai rencana asli. Tiket pesawat memang sudah booking, bukan dummy. Jadi walaupun limit visanya pas-pasan, tidak menyulitkan.
Saya jadi sadar pentingnya jujur pada rencana perjalanan sendiri. Jangan mark up jumlah hari hanya karena pengen limit visa panjang. Kalau minta 14 hari tapi rencana cuma 10, bisa jadi bumerang.
Visa Schengen memang fleksibel di atas kertas, tapi praktek di lapangan bisa sangat literal. Apa yang kita tulis di itinerary, sering kali itu yang mereka kasih.
Sekarang setelah semua lewat, rasanya pengalaman ini malah jadi cerita seru. Ada frustrasi, ada malu, tapi juga ada kepuasan karena berhasil ngurus semua sendiri.
Kalau ditanya kapok atau tidak, jawabannya enggak. Capek iya, tapi puas. Dan yang paling penting, pelajaran mahal ini semoga cukup sekali.
Buat kamu yang sedang atau akan ngurus visa Schengen, semoga kisah ini jadi pengingat hal-hal kecil yang sering diremehkan. Booking lewat PC, datang lebih awal, siap mental, dan jangan sok santai.
Semoga prosesmu lebih mulus dari saya. Dan kalau pun ada drama, semoga ceritanya bisa kamu ketawakan nanti, seperti saya sekarang. Safe travel, dan semoga lolos visanya.

Posting Komentar